

SIAPAKAH SESAMAKU MANUSIA?
Mengasihi Sesama Sebagaimana
Allah Mengasihi Kita


pengantar
Siapakah Sesamaku
Manusia?
Mengasihi Sesama Sebagaimana
Allah Mengasihi Kita
Siapakah sesama Anda? Jawabannya bisa sangat beragam, tergantung kebudayaan (dan lokasi) tempat Anda tinggal. Bagi sebagian orang, sesama dipersempit cakupannya pada tetangga, yakni orangorang yang menetap di depan, belakang, dan samping tempat tinggal mereka. Bagi yang lain, sesama bisa berarti semua orang yang berhubungan dengan mereka sepanjang hari. Mungkin Anda memiliki 100 tetangga di kompleks apartemen Anda, atau mungkin tetangga terdekat Anda
tinggal berkilo-kilo jauhnya dari kediaman Anda. Apa pun bentuknya, pertanyaannya tetap relevan: Siapakah sesama kita?
Menanggapi pertanyaan ini, Yesus menceritakan perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Dalam perumpamaan tersebut, kita tidak saja diberikan gambaran tentang siapa yang memenuhi syarat menjadi sesama kita, tetapi juga bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan mereka. Kebutuhan sesama kita tidak selalu sejelas kebutuhan orang yang terpuruk dalam perumpamaan tersebut, tetapi jangan salah, sesama kita pasti memiliki kebutuhan mereka sendiri. Dalam buklet ini, Marlena Graves akan membantu kita merenungkan tentang siapa sesama kita dan bagaimana kita dapat mengasihi mereka seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
Our Daily Bread Ministries
Mengasihi di Saat Baik
EDITOR: J. R. Hudberg
GAMBAR SAMPUL: © Shutterstock.com / Arthimedes
PERANCANG: Steve Gier
PENERJEMAH: Arvin Saputra
EDITOR TERJEMAHAN: Rosi L. Simamora
PENYELARAS BAHASA: Dwiyanto Fadjaray
PENATA LETAK: Akwilla Saraswati
GAMBAR ISI: (hlm.1) © Shutterstock.com / Arthimedes; (hlm.5) Joseph Redfield Nino via Pixabay.com; (hlm.11) Michael Drummond via Pixabay.com; (hlm.16) Phong Bùi Nam via Pixabay.com; (hlm.29) Ben Kerckx via Pixabay.com
Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974
© 2023 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia.
Indonesian Discovery Series “Who’s My Neighbor?”

Mengasihi Sesama Sebagaimana
Allah Mengasihi Kita
Kecolongan! Demikianlah perasaan saya ketika
Tuhan dengan lembut tetapi tegas menunjukkan bahwa saya sudah melewatkan sesuatu yang sangat penting. Saya telah mengasihi dan melayani orangorang yang jauh dari saya, tetapi saya bahkan belum pernah menyapa tetangga saya sendiri, yaitu orang-orang yang tinggal di sebelah kami dan selantai dalam kompleks apartemen kami. Saya bahkan tidak mengenal tetanggatetangga sebelah saya.
Hal-hal yang Esensial
Selama lima tahun saya dan suami saya, Shawn, berkuliah
di Rochester, New York, kami turut membimbing kelompok-kelompok
anak SMP dan SMA di gereja kami. Setiap tahun, saya bersikeras kami tetap memakai tema yang sama: “Mengenal Yesus; Mengikut Dia”. Jika yang terpenting adalah mengenal dan mengikut Yesus, untuk apa mengubah


Mengasihi Allah dan sesama
manusia adalah inti iman Kristen.
temanya dari tahun ke tahun? demikian saya beralasan. Temanya langsung diambil dari Yohanes 17:3, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satusatunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus,” dan dari Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Selain ayat-ayat tersebut, kami berupaya mengajari anak-anak itu hal-hal esensial tentang pemuridan, melalui perkataan dan kehidupan kami sendiri. Apa saja hal-hal esensial tentang pemuridan itu? Yesus berkata, “Seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (MATIUS 22:40) terangkum dalam dua perintah—mengasihi Allah dengan segenap diri, dan mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (LIHAT MATIUS 22:36-39). Kemudian, dari perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati kita belajar bahwa “sesama” adalah seseorang yang terhubung dengan kita, dan yang dapat kita penuhi kebutuhan-kebutuhannya. Tentunya itu termasuk tetangga-tetangga di lingkungan kita. Mengasihi Allah dan sesama manusia adalah inti iman Kristen. Itulah
hal-hal yang esensial dan mendasar. Pengalaman-pengalaman paling berkesan dari upaya
kelompok kami untuk menghayati kasih kepada Allah dan sesama terjadi ketika kami ikut membantu para korban bencana alam. Dua kali kami berangkat bersama rombongan besar dari gereja kami. Kami membantu memperbaiki dan membangun kembali rumah-rumah warga pedesaan miskin yang telah kehilangan segalanya karena banjir bandang.
Kami mengisi waktu dalam kesendirian dan keheningan, berdoa dan bekerja, dan dalam persekutuan, sambil
bergandengan tangan melayani sesama. Kami bertumbuh dalam kasih kepada Allah dan kepada satu sama lain. Anakanak berusia 11 hingga 18 tahun, mereka yang berumur 20-an, 30-an, dan lebih tua, bahkan para lansia yang sudah mendekati usia 80-an, ikut bekerja membanting tulang demi mengasihi dan melayani sesama manusia yang tinggal sejauh tiga jam berkendara dari gereja kami.
Kami menikmati setiap menit yang kami luangkan bersama kelompok pemuda kami (kecuali ketika bus kami mogok dalam perjalanan pulang dari retret tahunan).
Hari-hari kami dipenuhi dengan studi, kebersamaan, atau rapat untuk merencanakan acara dengan mereka. Saya dan Shawn sering berada di luar rumah dari pagi, sering sampai larut malam. Setelah menjalani hari dan malam yang panjang, kami langsung ambruk kelelahan begitu pulang ke apartemen kami. Biasanya saya langsung terlelap. Membasuh wajah, menggosok gigi, dan berganti pakaian bisa menunggu sampai keesokan pagi. Kelelahan benar-benar membuat saya mengesampingkan kebersihan diri.
Walaupun sangat berkesan, waktu-waktu pelayanan yang berkepanjangan itu telah menghalangi saya untuk berkenalan—apalagi bergaul—dengan tetangga-tetangga di
sekeliling kami. Saya sering melewati mereka begitu saja, baik di waktu malam, atau siang, tergantung jadwal kami.
Pada saat-saat itulah saya merasakan teguran lembut dari


Allah melihat mereka dan mengasihi mereka. Dia pun mengundang saya untuk melakukan hal yang sama.
Tuhan tentang apa yang saya lewatkan—lebih tepatnya, seseorang yang saya lewatkan. Sementara saya mendorong anak-anak remaja untuk mengasihi sesama mereka, saya sendiri tidak tahu apa-apa tentang sesama saya —orang-orang yang tinggal di sebelah saya. Saya tidak akan dapat mengenali mereka jika kami berjumpa di toko atau bahkan di gereja. Sementara saya sibuk mengasihi sesama saya di gereja, orang-orang miskin di tengah komunitas kami, para korban banjir yang tinggal jauh dari kami, atau orang-orang kelaparan di berbagai tempat di dunia, tanpa sadar saya telah mengabaikan sesama kami yang terdekat—tetangga rumah kami.
Mata untuk Melihat
Saya hampir sepenuhnya buta terhadap mereka. Namun, dalam Kerajaan Allah, melihat sangatlah penting. Yesus berkata dalam Matius 6:22-23, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.”
Melihat sesama kita adalah langkah pertama untuk mengasihi mereka. Saya bukan sengaja menghindari mereka
atau mengalihkan mata saya. Namun, kebutaan saya telah membuat saya gagal untuk mengasihi. Saya benar-benar tidak memperhatikan tetangga-tetangga saya atau mengambil waktu untuk merenungkan bagaimana Allah mungkin dapat dan sudah berkarya dalam kehidupan mereka. Saya tidak berperan menjadi utusan kasih karunia Allah. Saya terlalu asyik melayani orang lain . Akibatnya, jiwa-jiwa berharga yang diciptakan menurut gambar Allah di sekitar saya seakan menguap dari perhatian saya. Mereka hanya menjadi latar belakang hidup saya yang tidak diperhatikan. Karena gagal melihat mereka, tanpa sadar dan tanpa sengaja saya gagal memperlakukan tetangga-tetangga saya secara manusiawi. Ya Tuhan, ampunilah saya!
Ketika Yesus menjelaskan kepada murid-murid-Nya alasan Dia berbicara dalam perumpamaan, Dia mengutip Nabi Yesaya, yang mengatakan, “Sebab hati bangsa ini telah menebal � � � dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya” (MATIUS 13:15)� Lalu Yesus menguatkan mereka, “Tetapi berbahagialah matamu karena melihat” (AY�16)�
Syukurlah, Allah melihat dan mengasihi mereka. Dia pun mengundang saya untuk melakukan hal yang sama.
Malam itu, ketika Tuhan menegur dan menyadarkan saya atas kegagalan saya untuk mengasihi sesama, Dia juga membukakan mata saya untuk melihat dan menguatkan hati saya untuk bertekad mengasihi sesama saya yang terdekat, di mana pun saya tinggal.
Andai saja hanya saya yang mengalami kebutaan tadi, dan andai saja saya satu-satunya orang Kristen yang bergumul untuk menjadi sesama bagi orang-orang yang terdekat di sekitarnya. Namun, saya menemukan bahwa ternyata pergumulan saya juga dirasakan oleh banyak pengikut Kristus lainnya.
Marilah kita menelaah sejumlah cara yang dapat kita tempuh untuk mengasihi sesama kita yang terdekat. Saya berasumsi bahwa sebagian besar dari kita akan dengan senang hati membagikan waktu, tenaga, dan dana untuk menjawab kebutuhan sesama kita dalam skala regional maupun global, seperti juga dalam gereja lokal kita. Namun, saya juga menduga bahwa ada sebagian orang yang mirip dengan saya: kita mengasihi segala macam orang, termasuk mereka yang kita jumpai di dunia maya, tetapi gagal menunjukkan kasih kepada sesama kita yang terdekat (bahkan mungkin anggota keluarga kita sendiri), yang sudah sewajarnya menuntut lebih banyak dari kita. Mungkin juga sebagian dari kita berada di tengah-tengah kedua sikap tadi.

dua Mengasihi Sesama yang Terdekat
Yesus mengenal budaya tempat Dia berada. Dia
tahu norma dan keunikan dari kehidupan di bawah penjajahan Romawi. Setiap kali mengajar bangsa-Nya sendiri, Dia memakai perumpamaan dan hal-hal yang tidak asing bagi mereka. Demikian juga, untuk mengasihi dengan baik sesama dan komunitas kita yang terdekat, kita harus mengenal mereka dengan akrab. Kita harus berpartisipasi dalam peristiwa dan seluk-beluk kehidupan komunitas kita. Kita tidak bisa terkungkung di rumah atau bersembunyi di balik pagar. Lagi pula, memang ada kaitan erat antara kesejahteraan tetangga kita dan kesejahteraan kita sendiri.
Jadi, Siapa Sesama Kita Sebenarnya?
Saat ini saya mengajar di sebuah sekolah teologi lokal. Salah satu kelas yang saya ajar adalah “Pelayanan Pemuridan”.
Bahkan ketika Yehuda dibuang ke suatu negeri yang membenci iman kepada Allah yang sejati dan esa, Nabi Yeremia memberi tahu bangsa itu, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (YEREMIA 29:7)�
Untuk tugas pertama, saya menugasi para mahasiswa untuk “berjalan-jalan di lingkungan tempat tinggal mereka.” Jika tinggal di pedesaan, mereka bisa mengelilingi komunitas mereka dengan mobil. Mereka harus mencari tahu apa yang bisa mereka pelajari tentang lingkungan dan budaya di sana, agar mereka dan gereja mereka dapat mengasihi tetanggatetangga mereka sendiri. Saya akan menanyai mereka: “Orang seperti apa yang tinggal di sana?” “Apa saja latar belakang etnis mereka?” “Usaha apa saja yang ada di sana?” dan “Siapa saja orang-orang yang terpinggirkan di situ?” Orang-orang yang sering “terpinggirkan” dalam sebuah komunitas adalah para lanjut usia yang tidak lagi bisa keluar rumah, mereka yang tinggal di karavan, para pengungsi, dan kaum imigran. Saya menemukan ternyata sebagian mahasiswa tidak pernah dengan sengaja berjalan-jalan atau mengelilingi lingkungan mereka. Mereka mengaku tidak benar-benar mengenal tetangga mereka atau kondisi lingkungan mereka, karena biasanya mereka hanya lewat saja. Yang lain sudah menjalin hubungan dengan para tetangga, tetapi ingin tahu lebih jauh bagaimana dapat mengasihi dan melayani mereka dengan lebih baik.
Sesama yang Terdekat
Suatu kali, kami pindah ke kompleks apartemen kami pada Malam Tahun Baru, ketika musim dingin sedang dingin-dinginnya. Saat itu juga saya mulai mendoakan
tetangga-tetangga saya, dengan memohon agar Allah memberkati mereka dan menarik mereka kepada pengenalan akan diri-Nya. Saya tahu akan butuh waktu untuk membangun hubungan dengan mereka. Saya rindu menjadi berkat bagi mereka, sambil menyadari bahwa mereka juga dapat menjadi berkat bagi saya—dan itu pasti pengalaman yang akan sering terjadi.
Saya memutuskan untuk melakukan apa yang saya minta
dari mahasiswa saya: mencari tahu siapa saja tetangga saya. Saya membatasi penjelajahan saya hingga radius 1 kilometer.
Dari Stacey, manajer apartemen kami, saya tahu ada 215 unit dalam kompleks ini. Saya belum menjumpai tetangga yang tinggal di atas kami, tetapi saya pernah mendengarnya menaiki tangga di tengah malam ketika kami sudah tidur. Di pagi hari, kami berangkat lebih pagi daripada beliau. Sejauh ini, ia jarang terlihat pada akhir pekan. Saya menantikan kesempatan untuk berjumpa dengannya dan meminta maaf atas kegaduhan apa pun yang ditimbulkan ketiga putri kami.
Tempo hari, saya sempat berjumpa dengan Debbie, dan Lucy, anjing Chihuahua berbulu putih yang dipiaranya. Saya menerka Debbie berusia 50-an. Ia berkata kepada saya dan putri saya yang berusia 5 tahun, bahwa cucu perempuannya yang berusia 2 tahun pasti akan senang berteman dengan ketiga putri kami. Saya juga berharap dapat berjumpa dengan tetangga di sisi lain apartemen kami—jika memang apartemen tersebut dihuni. Saya berencana akan memasak di luar unit ketika cuaca sudah lebih hangat. Saya perlu mempelajari tempat baru ini dan budaya di sini jika saya ingin mengasihi sesama saya yang terdekat.
Bagian dari mengenal lingkungan kita adalah menerima realitas bahwa mengasihi tetangga itu tidaklah selalu mudah. Misalnya, saya mempunyai tetangga-tetangga
Sesama yang Terdekat
yang membiarkan anjing mereka mengotori sepetak kecil rumput yang menjadi halaman depan kami. Mereka tidak membersihkan kotoran anjing mereka. Harus saya akui bahwa itu menjengkelkan sekali. Ketika sedang mengemudi tempo hari, saya melihat tanda bertuliskan: “Anjing Anda buang hajat? Anda yang bersihkan!” Walaupun agak kasar, pesannya mengena. Saya sempat terpikir, perlukah saya memasang tanda serupa di halaman depan kami. Tentunya itu akan menyampaikan pesan dan harapan saya. Di lain pihak, mungkin saya perlu keluar dan membersihkan sendiri kotoran-kotoran anjing itu—dengan harapan para pemilik anjing melihat saya melakukannya, dan siapa tahu mereka merasa tidak enak hati lalu berubah.
Namun, bagaimana jika mereka tidak berubah? Saya perlu menggumulkan respons kasih seperti apa yang paling tepat—terutama ketika tetangga saya dan anjing mereka telah menyinggung kepekaan saya soal kebersihan. Mengasihi sesama berarti mengasihi dalam kondisi baik, buruk, bahkan parah. Kasih menuntut kreativitas, upaya, dan hikmat. Kita sering tidak dapat melakukannya seorang diri. Terkadang kita harus benar-benar memikirkan arti mengasihi, dan untuk itu kita butuh nasihat orang lain.
Komunitas Saya
Jika keluar dari kompleks kami dan belok ke kiri, saya akan melihat sebuah kompleks rumah mewah dengan kisaran harga lebih dari 300.000 dolar AS. Jika berbelok ke kanan, saya menuju jalan raya 795. Di seberang jalan raya itu terdapat perumahan dan Sekolah Dasar Woodland, lengkap dengan Taman Woodland. Tamannya mempunyai arena bermain yang asyik sekaligus jalur joging. Terkadang saya melihat orang-orang bermain frisbee . Jika saya berbelok ke
kanan, ada sebuah gereja Mormon, lembaga pendidikan anak Discovery, bengkel mesin Jerl, dan toko perlengkapan berkebun Luckey. Jika berjalan terus, saya akan mengarah ke pusat kota Perrysburg, Ohio. Jika saya berbelok ke kiri di jalan raya 795 tadi, saya melewati toserba besar seperti Target dan Walmart, serta serangkaian restoran waralaba. Sekarang, hati saya tertarik ke Sekolah Dasar Woodland. Musim gugur mendatang, putri kedua saya akan masuk kelas satu di sana. Beberapa tahun lagi, putri bungsu saya akan mulai taman kanak-kanak di Woodland. Tidak seperti putri sulung saya yang bersekolah beberapa kilometer dari kompleks kami, Woodland berada persis di seberang jalan. Saya akan mudah terlibat dalam komunitasnya.
Komunitas-Komunitas Kita
Jika kita ingin mengasihi lingkungan setempat kita dengan baik, kita perlu mengakrabkan diri dengan orang-orang di sana. Apa saja kekuatan dan kelemahan dari komunitas itu? Apa saja kebutuhannya? Adakah para orangtua tunggal yang dapat kita bantu, atau mantan narapidana yang dapat kita layani supaya bisa berbaur kembali dengan masyarakat? Dapatkah kita berperan dalam memastikan tersedianya tempat tinggal yang adil dan terjangkau? Apa yang dapat kita lakukan untuk memperindah komunitas kita? Bisakah kita mengasihi sesama dengan terlibat dalam suatu yayasan sekolah atau menjadi mentor bagi para siswa? Kita dan gereja kita perlu mencari tahu dengan sungguh-sungguh bagaimana caranya mengusahakan kesejahteraan komunitas kita. Kita perlu sungguh-sungguh menunjukkan kehadiran kita kepada sesama kita yang terdekat dan menjadi lambang kehadiran Kristus di tengah mereka.
Sesama yang Terdekat

Mari Kita Makan
Pertama kalinya kami menginjakkan kaki di rumah
Andy dan Juli, saya langsung tahu mereka berbeda— berbeda dalam pengertian positif. Keduanya sangat aktif terlibat dalam komunitas mereka. Cara hidup mereka di antara orang-orang sungguh mirip dengan bayangan saya tentang cara hidup Yesus seandainya Dia ada di dunia saat ini.
Andy dan Juli tinggal di perkotaan di tengah masyarakat dengan beragam latar belakang. Andy biasa berjalan kaki atau bersepeda ke tempat kerjanya, sementara Juli mengajar piano dan vokal di rumah mereka. Ketika tidak sedang mengajar, ia berlatih bersama paduan suara warga lokal, mengiringi dengan piano, atau bernyanyi solo. Pasangan suami-istri ini hadir dan ikut serta dalam kehidupan komunitas setempat. Yang membuat mereka istimewa, setidaknya pada zaman sekarang di Amerika Serikat, adalah bahwa mereka mengasihi dan melayani sesama di lingkungan
mereka dengan cara-cara yang memberi dampak. Memang tidak semua orang siap membuka pintu rumah mereka kepada siapa saja, tetapi kesan pertama saya tentang kasih Andy dan Juli kepada orang lain timbul ketika tetangga sebelah rumah mereka mengetuk pintu, lalu langsung masuk dan meminta izin untuk meminjam sebuah panci logam berukuran besar. Ketika tetangga itu melihat saya di dapur, ia menyapa saya dengan hangat. Lalu Juli memperkenalkan saya kepadanya. Tetangga itu bercerita bahwa ia sedang mengundang teman-temannya dan ingin memasak sup untuk mereka. “Silakan ambil sendiri,” kata Juli. “Kamu tahu tempatnya.” Benar saja, tetangga itu sudah tahu. Ia mengambil panci itu dari lemari di bawah meja tengah dapur, setelah itu pergi. Juli berkata bahwa panci itu adalah milik bersama. Para tetangga patungan membelinya. Juli dan Andy setuju menyimpannya di rumah mereka. Setiap kali salah satu rumah selesai memakainya, mereka tinggal mencuci panci itu dan mengembalikannya.
Para tetangga Andy dan Juli tahu di mana mereka menyimpan kunci cadangan mobil dan rumah mereka.
Meski tidak ada orang di rumah, para tetangga bebas masuk ke rumah mereka jika membutuhkan sesuatu. Jika mereka perlu meminjam mobil, mereka boleh melakukannya selagi mobilnya tersedia. Para tetangga ini saling berbagi panci, mesin pemotong rumput, mesin pembersih salju, mobil, dan barang-barang lain. Mereka berpikir bahwa tidak perlu setiap rumah membeli barang-barang mahal yang jarang dipakai. Selain tidak bijaksana, hal itu juga memboroskan uang. Lagi pula, mereka rindu menjadi pengelola yang baik dari lingkungan mereka. Mereka semua bisa patungan untuk merawat barang-barang itu, lalu bersama-sama memutuskan di mana tempat penyimpanannya.
Bukan saja mereka berbagi peralatan rumah tangga, para tetangga ini juga berbagi kehidupan. Mereka bergantian menjamu makan di rumah, di beranda, atau di halaman belakang mereka. Anak-anak mereka besar bersama-sama, selalu berada di rumah salah satu tetangga, dan siap diantar jemput oleh siapa saja yang bersedia membantu. Keluarga yang tidak memiliki anak menjadi seperti bibi dan paman bagi anak-anak tetangganya. Saya dan Shawn menyaksikan sendiri gaya hidup bertetangga tersebut ketika kami menjaga anak-anak remaja mereka selama dua minggu sementara
Andy dan Juli melakukan perjalanan dinas. Bertahun-tahun lamanya para tetangga yang tinggal di kiri dan kanan rumah mereka, bahkan beberapa rumah dari mereka, telah menjadi seperti keluarga. Hanya saja, sangat sedikit dari mereka yang Kristen. Namun, mereka mengamati kasih yang telah ditunjukkan Andy dan Juli kepada mereka, dan juga sudah membalas kasih itu. Terlepas apakah mereka akan percaya kepada Kristus atau tidak, sekarang mereka mempunyai pandangan yang lebih baik tentang Dia, karena mereka telah mengamati terang kemuliaan-Nya dalam diri teman-teman mereka yang sudah percaya.
Yesus Teladan Kita
Saya pernah mendengar seorang pembicara berkata, “Mengundang seseorang makan di rumah kita adalah hal yang sama sekali berbeda dari mengajak minum kopi atau makan bersama di luar rumah. Ketika kita mengundang seseorang ke rumah kita, sebenarnya kita mengundang mereka ke dalam hidup kita.” Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Saya juga mengerti bahwa dalam budayabudaya tertentu hal tersebut jauh lebih mudah dilakukan daripada dalam budaya yang lain.
Yesus sering makan di rumah orang-orang dan menghabiskan waktu bersama mereka. Berbagai macam orang, termasuk yang dikucilkan masyarakat, mengundang
Yesus untuk meluangkan waktu bersama mereka. Namun, terkadang ada orang-orang yang datang sendiri ke tempat
Yesus berada. Misalnya, ketika dua orang murid Yohanes
Pembaptis mendengar Yohanes berkata bahwa Yesus adalah
“Anak Domba Allah,” mereka mulai mengikuti-Nya karena ingin tahu lebih banyak tentang Dia. Ketika Yesus menyadari bahwa mereka membuntuti-Nya, Dia menoleh dan bertanya, “Apakah yang kamu cari?” (YOHANES 1:38). Jawab mereka terang-terangan: “Rabi . . . , di manakah Engkau tinggal?” (AY.38). Perhatikan jawaban Yesus. Dia tidak mengundang mereka makan di rumah makan setempat. Ketika mereka bertanya di mana Dia tinggal, Yesus menjawab, “Marilah dan kamu akan melihatnya” (AY.39). Lalu Injil Yohanes mengatakan, “Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia” (AY.39). Mereka ingin menghabiskan waktu bersama Yesus untuk belajar lebih banyak tentang Dia. Mereka senang berlama-lama dengan-Nya.
Bukan saja orang-orang datang sendiri ke tempat Yesus berada, adakalanya Yesus yang datang sendiri ke rumah mereka. Contohnya Zakheus. Ketika Yesus melihatnya, hal pertama yang Dia lakukan adalah menyatakan keinginanNya untuk mengunjungi Zakheus. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu,” kata Yesus (LUKAS 19:5). Jika ingin meneladan Yesus, kita belajar bahwa salah satu cara untuk mengasihi sesama adalah dengan mengundang mereka ke dalam hidup kita. Kita dapat melakukannya dengan mengundang mereka makan di rumah kita dan menghabiskan waktu bersama-sama.
Makan dan menghabiskan waktu bersama dapat meruntuhkan tembok penghalang dan membantu kita menghadirkan Kerajaan Allah. Mengapa? Karena dengan saling mengenal, kita dapat memperlakukan satu sama lain secara manusiawi. Kita diingatkan bahwa masingmasing orang memiliki kehidupan emosional yang kaya, dan kita semua menggumulkan dan mengalami hal-hal yang kurang lebih sama. Mengasihi sesama mencegah kita dari menunjukkan reaksi-reaksi spontan yang negatif, atau serta-merta menganggap mereka berniat jelek. Kita juga dicegah untuk berburuk sangka tentang mereka. Misalnya, mungkin kita akan menemukan bahwa alasan wanita di unit apartemen sebelah selalu meneriaki ayahnya yang sudah lanjut usia adalah karena pendengaran sang ayah sudah lemah, dan bukan karena wanita itu kasar dan tidak peka.
Ketika para pemimpin agama bertanya kepada Yesus tentang kapan Kerajaan Allah akan datang, Dia menjawab, “Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (LUKAS 17:20-21)� Kerajaan Allah bersifat rohani dan memotivasi kita untuk menjalani hidup kita seperti cara Yesus menjalaninya�
Mengundang orang ke rumah kita untuk makan bersama adalah tanda keakraban. Namun, di zaman sekarang, undangan seperti ini cukup segan kita berikan. Salah satu alasannya adalah karena kita kurang mengenal tetangga kita dan merasa kikuk. Barangkali kita pemalu dan introver. Mungkin kita merasa sudah cukup sibuk, rumah kita terlalu berantakan, atau kita terlalu lelah untuk membersihkannya. Ada yang menolak untuk mengundang orang karena merasa kurang pandai atau sama sekali tidak bisa memasak.
MANUSIA?
Yang lainnya minder karena menganggap rumahnya lebih kecil dibandingkan rumah orang lain. Saya sudah sering mendengar keberatan-keberatan tersebut dan bersimpati kepada mereka yang menyatakannya. Namun, mungkin kita bisa memikirkan langkah-langkah tertentu untuk mengatasi ketakutan-ketakutan tadi.
Mengambil Langkah Awal
Bagi para pemula, kita dapat memulai dengan perlahan dan sengaja. Kita bisa mencoba mengatasi keengganan dan perasaan kikuk dalam diri kita. Memang, belum tentu kita mampu mengatasi perasaan-perasaan itu seorang diri.
Kita dapat meminta bantuan dari teman-teman yang lebih terampil dalam hal ini, sehingga mereka dapat memberi kita nasihat. Ini memang bukan soal usaha kita sendiri.
Kita bisa melakukan semampu kita untuk berjumpa sekilas dengan tetangga kita dan menyapanya. Jika kita tinggal di wilayah dengan tetangga yang tinggal berjauhjauhan atau terpisah oleh jarak, mengenal mereka membutuhkan tekad dan kreativitas yang lebih besar.
Misalnya, barangkali kita dapat mengantarkan kue atau semacam kado kecil sambil memperkenalkan diri. Jika hal itu dirasa berlebihan, kita bisa menulis pesan yang berisi perkenalan diri dan alamat kita, lalu menempelkannya pada pintu depan mereka. Akhirnya, kita bisa langsung mengundang mereka dan orang-orang lain untuk datang ke suatu piknik atau masak-masak di luar rumah ketika cuaca sedang baik. Yang penting adalah kita mengasihi sesama dengan menghidupi semangat keramahtamahan. Namun, bisa saja tidak satu pun dari saran tadi terdengar menarik bagi Anda. Akan tetapi, ingatlah bahwa upaya meminta nasihat dan pertolongan teman-teman terdekat kita akan
menolong membangun semangat kasih dan keramahtamahan di lingkungan Anda.
Tentu saja, kita harus pandaipandai memilih kapan sebaiknya kita mengundang dan siapa yang kita undang. Saya tidak menyarankan kita membahayakan diri sendiri dengan mengundang tetangga yang memberi rasa tidak aman. Saya juga bukan mendorong sikap atau upaya yang memaksa tetangga-tetangga kita agar mau menghabiskan waktu dan makan bersama kita. Yang dibutuhkan di sini adalah hikmat.

Yang dibutuhkan di sini adalah hikmat.

Ketika kami pindah ke rumah yang sekarang, saya sengaja mencari kesempatan untuk berinteraksi dengan tetanggatetangga saya. Kami mulai dengan makan malam keluarga di beranda rumah. Kami tinggal di kawasan jalan utama kota kecil kami, dan banyak pejalan kaki yang lalu-lalang di depan rumah. Orang-orang yang lewat terkadang melambaikan tangan. Saat itu saya sedang mengandung putri kami yang ketiga, dan sempat sulit untuk melangkah. Namun, ketika saya bisa keluar, itulah kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang. Pada suatu sore, saya perlu sedikit menyeret tubuh saya yang sudah besar untuk menaiki tangga beranda depan tetangga sebelah kami supaya dapat menjumpai mereka. Perut saya yang membesar langsung menjadi topik percakapan kami. Saya mengatakan bahwa kami baru saja pindah, bahwa suami saya mengajar di suatu universitas tidak jauh dari sana, dan bahwa saya bekerja di sebuah gereja di pusat kota. Dengan sengaja saya membangun hubungan dengan mereka dan tetangga-tetangga lainnya.
Sepanjang tiga tahun berikutnya, hubungan bertetangga kami pun berkembang. Mereka mengundang kami berperahu di danau dekat pondok mereka. Kami bertukar kado Natal dan saling membantu membersihkan gundukan salju di depan rumah kami. Kami menyiapkan hidangan kecil bagi satu sama lain dan menghabiskan waktu berbincang-bincang di halaman, beranda, dan rumah kami—terkadang sambil makan, terkadang tidak. Kami menyambut mereka ke dalam rumah kami, dan mereka juga mengundang kami ke rumah mereka. Mereka peduli terhadap putri-putri kami. Belakangan saya baru tahu bahwa mengundang tamu ke rumah tidaklah lazim di kota kecil tersebut; para tetangga senang makan di luar bersama, tetapi mereka jarang makan di rumah satu sama lain. Hal seperti itu biasanya dilakukan untuk anggota keluarga.
Menyediakan Ruang
Seberapa sering kita berkata, bahkan kepada temanteman dekat kita, “Ayo, kapan-kapan kita kumpul!” tetapi tidak pernah menjadi kenyataan karena kita tidak pernah menetapkan tanggal dan waktunya? Saya pun sering mengalaminya! Jika kita merasa terlalu sibuk dan kewalahan untuk menerima orang ke rumah, mungkin itulah saatnya kita perlu memulai dengan menyediakan ruang dalam jadwal kita. Anggap saja itu seperti menjadwalkan kesempatan untuk mengasihi orang lain. Mungkin itu berupa janji makan pagi atau makan malam di akhir pekan, atau bahkan makan siang di hari biasa.
Bukankah mengherankan bagaimana kita bisa terlalu sibuk hingga tidak sempat untuk menunjukkan kasih kepada sesama kita, terutama tetangga terdekat kita? Norma masyarakat dan kehidupan kita yang serba cepat
berlawanan dengan perintah Yesus untuk mengasihi sesama kita (MARKUS 12:31). Kasih menuntut waktu, pengorbanan, dan tenaga. Selain itu, kesempatan untuk mengasihi jarang datang pada waktu yang tepat. Jika kita tidak dengan sengaja menjadwalkan waktu untuk menunjukkan kasih, terutama kepada mereka yang tinggal paling dekat dengan kita, kesibukan pasti akan menyita waktu kita. Kita harus dengan sengaja berbagi kehidupan dengan sesama kita. Kalau tidak, hari-hari kita pasti penuh, meski jadwal kita terisi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Kondisi Rumah Kita
Sebelum putri ketiga kami lahir, saya berteman dekat dengan beberapa ibu. Kami sering berkunjung ke rumah satu sama lain. Kami saling bergantian menjaga anakanak kami dan makan bersama. Padahal rumah kami semua benar-benar berantakan dan kacau balau. Tentu saja, karena kami punya anak-anak! Jika ada tamu yang tahutahu memasuki salah satu rumah kami di siang hari, dan itu memang sesekali terjadi, ia akan melihat tumpukan pakaian, mainan berserakan di mana-mana, dan barangkali sisa makanan yang teronggok di atas meja. Jika rumah kami harus sudah rapi dan apik sebelum tamu boleh berkunjung, tidak mungkin terbentuk ikatan seerat itu di antara kami. Persahabatan kami menjadi prioritas. Akhirnya, kami akan saling membantu untuk berbenah sebelum kami pulang, atau membenahinya sendiri di kemudian waktu. Mungkin anak-anak kita suka menggeletakkan pakaian, mainan, atau makanan di mana-mana. Mungkin juga kita begitu lelah bekerja sampai-sampai tak sempat berbenah di penghujung hari. Kita pikir kita akan melakukannya jika kita punya energi berlebih. Namun, itu hampir mustahil terjadi.
Mungkin sekarang kita sudah lebih berumur dan lebih sulit bergerak ke sana kemari. Akibatnya, kita sulit menjaga kondisi rumah yang kita inginkan. Mungkin juga kita bukan pengurus rumah yang baik dan memilih untuk memakai jasa pembersih rumah jika kita sanggup membayarnya.
Kita lupa bahwa biasanya orang akan merasa terhormat menerima undangan kita. Sebagian besar orang lebih mementingkan waktu yang akan diluangkan bersama daripada kondisi rumah kita. Ini bukan berarti kita tidak perlu berupaya merapikan rumah atau tidak peduli rumah kita berantakan. Tamu kita akan lebih merasa disambut jika kita memastikan kebersihan kamar mandi, menjaga sanitasi rumah, menyapu bersih sisa rambut dan bulu hewan peliharaan, dan memastikan tidak ada barang yang bergeletakan. Namun, jangan memiliki ekspektasi yang tidak realistis. Kita tidak bisa menunggu sampai rumah kita seresik museum sebelum mengundang orang datang. Jika demikian, kita mungkin tidak akan pernah melakukannya.
Santap Makan Bersama
“Tapi saya tidak pernah memasak lagi! Saya hanya tinggal sendiri,” ujar seorang teman lansia saat kami duduk bersebelahan pada sebuah persekutuan gereja. Persekutuan itu membahas tentang keramahtamahan dan kerelaan menyambut orang ke dalam rumah kita. Seusai acara tersebut, saya menyempatkan diri berbicara lagi dengan wanita itu. Beliau ternyata mengira bahwa perlu disiapkan tiga macam hidangan jika seseorang hendak mengundang tamu. “Oh, tidak perlu begitu,” kata saya. “Ibu cukup menyediakan kentang goreng dengan hotdog atau bahkan sesuatu yang cepat saji. Atau jika tamu ibu seorang vegetarian, mungkin ia tidak keberatan membawa sesuatu untuk
dinikmati bersama. Tidak perlu sesuatu yang mewah.”


Allah akan memakai sumber daya seadanya yang kita miliki untuk memberkati banyak orang, jika kita rela mempersembahkan semuanya itu kepada-Nya.
Makan bersama tidak perlu mewah. Sesuatu yang sederhana bisa jadi pilihan yang terbaik. Mungkin cukup menu roti lapis dengan buah dan sayuran sebagai tambahan, ditambah minuman. Anda bahkan tidak perlu menyiapkannya dari nol! Yang terpenting di sini adalah berbagi makan bersama—sambil berbagi kehidupan. Tawarkan saja apa yang kita punya—seperti anak kecil yang menawarkan makan siang yang terdiri dari lima roti dan dua ikan (YOHANES 6:114). Si anak mempersembahkan apa yang ada padanya dan Yesus melipatgandakannya untuk memberi makan banyak orang. Allah akan memakai sumber daya seadanya yang kita miliki, seperti keterampilan memasak, persediaan makanan, dan hal-hal lainnya, untuk memberkati banyak orang, jika kita rela mempersembahkan semuanya itu kepada-Nya.
Ukuran Tempat Tinggal Kita
Ada yang mengaku tidak ingin mengundang orang datang karena malu dengan ukuran rumah mereka. Namun, saya juga mengenal sepasang suami-istri Kristen dengan lima anak yang menjalani hidup sangat sederhana dan tinggal di suatu rumah yang cukup kecil. Namun, mereka rajin mengundang
tetangga mereka untuk makan malam. Entah bagaimana, mereka selalu mempunyai satu tempat tambahan di meja makan atau menggunakan tempat lain bagi para tamu untuk menikmati hidangan. Saya sering bertanya-tanya, bagaimana bisa mereka memberi makan begitu banyak orang. Saya bahkan mengira makanannya tidak bakal cukup. Namun, entah bagaimana, mereka selalu dapat melakukannya.
Mungkin saja Yesus melipatgandakan persembahan mereka seperti Dia melipatgandakan roti dan ikan si anak dalam Alkitab.
Seorang teman bernama Michael sempat tidak memiliki tempat tinggal saat menetap di Orlando, Florida. Ia tinggal dalam sebuah tenda pada sebidang tanah di suatu persimpangan jalan. Ia dan para tunawisma lainnya saling berbagi makanan dan persediaan lainnya. Setiap Sabtu, komunitas kaum tunawisma di lingkungan mereka berbagi makanan yang disediakan oleh sebuah gereja bercorak Hispanik. Orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal pun berkumpul dan makan bersama.
Sejumlah teman yang pernah mengunjungi kawasankawasan termiskin di dunia bercerita bagaimana mereka sangat tergugah oleh kehangatan orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa. Orang-orang miskin itu menyiapkan makanan apa saja yang dapat mereka hidangkan demi menghormati para tamu. Terkadang itu hanya sepotong buah yang sangat berharga bagi mereka. Apa yang disebut “tempat tinggal” memang berbeda-beda dalam bentuk dan ukuran.
Allah tidak menilai menurut standar kita. 1 Samuel 16:7 mengatakan, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” Mengasihi sesama tidak ada hubungannya dengan berapa banyak uang yang kita miliki, atau seberapa besar tempat kediaman kita. Kita bahkan tidak membutuhkan rumah untuk melakukannya. Yang
penting adalah semangat yang murah hati dan keterbukaan menyambut sesama. Yang penting juga adalah kehadiran kita. Undanglah orang lain ke dalam “ruang” kita, dan bersantaplah bersama mereka (selama hal itu aman dilakukan). Undanglah mereka yang miskin, cacat, timpang, buta, dan yang berbeda dari kita—“para pemungut cukai dan orang berdosa” yang karena satu dan lain hal takkan sanggup membalas undangan kita. Itulah cara kita menaati Yesus dengan cara mengasihi sesama kita (LIHAT LUKAS 14:1314). Dengan melakukannya, bukan saja kita merobohkan tembok yang memisahkan, tetapi kita sendiri akan menerima balasannya pada waktu kebangkitan orang-orang benar, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus (AY.14).
Tentu saja, tidak semua orang akan menanggapi undangan kita, sama seperti tidak semua orang akan menanggapi undangan Allah untuk datang ke perjamuan paling mewah yang akan terjadi di akhir zaman— sebagaimana ditegaskan dalam perumpamaan Yesus tentang perjamuan besar. Dalam perumpamaan tersebut, seseorang mengadakan sebuah perjamuan besar dan mengirimkan banyak undangan. Namun, orang-orang yang semula diundang mencari-cari alasan untuk tidak hadir. Akhirnya ia pun mengundang siapa saja yang mau datang— bahkan orang-orang yang tidak dikenalnya (LUKAS 14:15-24).
Janganlah kita berkecil hati ketika undangan kita ditolak. Sebagian orang takkan tertarik dan yang lain mungkin belum ada waktu. Tidak mengapa. Dengan memberikan undangan, kita telah membukakan pintu bagi orang lain untuk menikmati apa yang terlebih dahulu Allah berikan kepada kita.

empat
Mengasihi di Saat Baik atau Tidak Baik Waktunya
Setiap kali sedang mengandung, saya harus
beristirahat di tempat tidur hampir sepanjang masa kehamilan. Selain itu saya sering sakit parah dan nyaris tak mampu berjalan. Saat mengandung anak ketiga, kondisi saya begitu buruk, sampai-sampai setelah kami pindah ke rumah baru, sebagian tetangga mengira suami saya seorang ayah tunggal, karena mereka tidak pernah melihat saya bersama dengannya dan anak-anak kami. Saya tidak cukup kuat untuk mengurus diri sendiri, apalagi ditambah anak-anak kami. Enam hingga tujuh bulan pertama masa kehamilan terasa sangat berat bagi saya, suami, dan keluarga. Rasa sakit dan keterbatasan fisik
menghalangi saya untuk bergerak, membaca, berpikir jernih, atau
mengerjakan apa pun. Saya hanya dapat memanjatkan doa-doa singkat
sepanjang hari serta bersyukur atas kasih dan pertolongan yang saya terima dari orang lain. Saya tidak “berbuat” banyak di masa itu, karena memang tidak bisa.
Yesus mengajar kita untuk


Yesus mengajar kita untuk mengasihi sesama dengan sebaik mungkin di segala musim kehidupan kita.
mengasihi sesama dengan sebaik mungkin di segala musim kehidupan kita. Namun demikian, kasih kita bisa hadir dalam bentuk yang berbeda-beda di sepanjang musim kehidupan yang silih berganti. Saat merenungkan periode demi periode dalam kehidupan saya, tampak jelas bahwa saya tidak lagi memiliki fleksibilitas
dalam jadwal sehari-hari seperti yang dulu saya miliki ketika masih berusia 20-an. Demikian pula dengan stamina saya. Dalam usia 20-an itu, saya dan suami belum memiliki anak, masih berkuliah lanjut, dan menghadapi lebih sedikit kendala. Sekarang, saya harus mempertimbangkan tanggung jawab keluarga dan pekerjaan, sambil berupaya mengasihi sesama saya yang terdekat. Ini bukan berarti saya tidak dapat menunjukkan kasih kepada mereka. Namun, cara saya mengasihi sekarang berbeda dibandingkan dahulu. Salah satu contohnya, saya tidak lagi mampu berbincang-bincang dengan orang lain hingga larut malam.
Saya mempunyai teman-teman yang menderita penyakit kronis dan sedang memerangi dampak-dampak penuaan.
Mereka berangan-angan bisa melakukan lebih banyak lagi
untuk mengasihi sesama. Namun, ketika mereka menghadapi banyak tantangan dalam hidup sehari-hari, kerinduan itu sulit untuk diwujudkan. Baru-baru ini saya berbicara dengan beberapa sahabat lansia yang menganggap hidup mereka tidak lagi berarti karena merasa tidak lagi mampu berkontribusi seperti dahulu ketika masih muda dan sehat. Saat kita menua, tubuh dan pikiran kita dapat bertindak berlawanan dengan kehendak kita. Roh kita penurut, tetapi tubuh kita lemah (LIHAT MATIUS 26:41). Namun, kita tetap dapat melakukan tindakan nyata untuk mengasihi sesama, seperti memanjatkan doa singkat untuk seseorang, menguatkan hati orang lain lewat pesan surat atau telepon, atau bahkan membuatkan kue-kue yang lezat untuk mereka. Dua orang mentor saya senang mengatakan kalimat berikut, “Lakukanlah yang bisa kamu lakukan, bukan yang tidak bisa dilakukan.” Karena kita tidak mempunyai opsi untuk berhenti mengasihi sesama, maka kita harus mengasihi mereka menurut kemampuan kita pada musim kehidupan yang sedang dijalani. Allah begitu baik; Dia tahu apa yang dapat dan tidak dapat kita lakukan.
Orang lain adalah sesama kita, tetapi yang tidak kalah penting diingat adalah bahwa kita sendiri merupakan sesama bagi orang lain� Adakalanya kitalah yang butuh diperhatikan, dan kita perlu bersikap terbuka terhadap hal itu, sebagaimana kita sendiri berharap sesama kita terbuka terhadap kepedulian kita�
Ingatlah: Berkatnya Dialami Bersama
Tentang kerelaan menjamu tamu dan membuka diri bagi sesama, penulis dan profesor Christine Pohl mengatakan bahwa dalam Kitab Suci, “keramahtamahan dalam bentuk kerelaan menjamu tamu sering dikaitkan dengan berkat
dan dengan Allah. . . . Cerita-cerita keramahtamahan dalam Perjanjian Lama sering kali juga menyebutkan tentang berkat.
Contohnya, orang-orang asing yang disambut ternyata adalah malaikat, atau tamu yang membawa kabar baik, yang menyampaikan janji tentang seorang anak yang sudah lama dirindukan.” Selain itu, Pohl memperhatikan bahwa kita “begitu sering terlibat dalam interaksi-interaksi seperti itu dengan menyangka bahwa kitalah yang memberikan manfaat, pertolongan, atau perhatian yang dibutuhkan tamu-tamu kita. Padahal sebaliknya, justru tamu kitalah yang mendatangkan berkat. Hidup saya telah diubahkan oleh interaksi-interaksi semacam itu. Anda benar-benar merasakan bahwa Anda sedang berdiri di tanah yang kudus ketika Anda berinteraksi dengan orang asing. Sungguh pengalaman yang luar biasa.”
Bergaul dengan sesama kita yang terdekat sering kali justru mendatangkan berkat yang dapat dinikmati bersama. Sungguh, kehadiran Allah dapat dirasakan melalui kehadiran sesama kita.
ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI!
Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.
Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening
a/n YAYASAN ODB INDONESIA
Green Garden 253-300-2510
Daan Mogot Baru 0000-570195
Taman Semanan Indah 118-000-6070-162
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet.

Yayasan ODB Indonesia
Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui: WhatsApp: 0878-7878-9978
E-mail: indonesia@odbm.org
Dukung kami dengan klik di sini.
MATIUS 22:39
Bagaimana kita dapat menjadikan kasih kepada orang lain sebagai prioritas di tengah dunia yang melaju cepat? Mudah sekali kita melewati begitu saja orang-orang di sekitar kita dalam perjalanan hidup ini. Mungkin kita merasa tidak punya waktu, tenaga, atau sumber daya untuk mengasihi sesama kita. Dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, Yesus menyatakan siapa sesama kita sekaligus menunjukkan apa artinya mengasihi mereka. Allah mengasihi sesama kita dan mengundang kita untuk melakukan hal yang sama. Mari belajar bahwa mengasihi sesama tidak hanya akan membawa berkat bagi mereka, tetapi juga untuk kita sendiri.
Marlena Graves meraih gelar Magister Divinitas dari
Northeastern Seminary di Rochester, New York. Ia seorang penulis sekaligus pembicara yang pernah dimuat dalam
Christianity Today Women, Womenleaders.com, dan Our Daily Bread. Marlena dan Shawn, suaminya, memiliki tiga orang putri: Iliana, Valentina, dan Isabella.
dhdindonesia.com