21 - 27 April 2014
24
Wajib Belajar Malam Kurangi Siswa Keluyuran Sebagian orang bersikap skeptis ketika Pemda DKI Jakarta berencana menerapkan wajib belajar malam untuk anak-anak. Apakah akan efektif? Siapa yang akan mengawasi? Berbagai per tanyaan lain yang mengemuka ketika rencana ini disampaikan. Skeptis boleh saja, karena memang program ini baru diujicobakan beberapa bulan di Jakarta. Itupun belum di semua kecamatan yang jumlahnya mencapai 42 kecamatan dengan 2.707 RW dan 30.300 RT. Tak heran kalau sampai sekarang masih banyak anak-anak yang masuk dalam kriteria wajib belajar malam (7-18 tahun) terlihat keluyuran alias bermain pada pukul 19.00-21.00, waktu di mana program tersebut diberlakukan.
H
arus diakui, kebanyakan masyarakat Jakarta tidak tahu kalau kewajiban belajar malam bagi anak-anak usia sekolah sudah ada aturannya. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan, telah mengaturnya pada pasal 11 ayat 3,”Setiap peserta didik berkewajiban belajar setiap hari efektif sekolah di rumah dari pukul 19.00 sampai dengan 21.00”. Peraturan yang umurnya sudah hampir delapan tahun ini, kurang disosialisasikan sehingga tak heran kalau masyarakat kaget ketika muncul rencana Pemda yang akan memberlakukan jam wajib belajar malam. Apalagi rencana itu diungkapkan tak lama setelah kasus kecelakaan anak musisi Ahmad Dhani yang baru berusia 13 tahun mengendarai mobil dan menabrak sejumlah orang hingga tewas. Lepas dari kontroversi dan berbagai reaksi masyarakat, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, bertekad tetap melaksanakan program yang telah tertuang dalam Perda DKI Jakarta itu. Memang belum serentak dilaksanakan di seluruh wilayah Jakarta, masih bersifat uji coba di beberapa daerah yang ditunjuk
sebagai percontohan. Pihak Dinas Pendidikan menyatakan, evaluasi dan monitoring terus menerus dilakukan terhadap wilayah-wilayah yang telah melaksanakannya. Pada tahap awal ketika program uji coba diluncurkan pada Oktober tahun lalu, dipilih dua RW untuk masing-masing wilayah di Jakarta. Jumlah itu kini semakin bertambah. Uniknya, penambahan itu justru atas inisiatif masyarakat karena melihat keberhasilan uji coba wajib belajar malam di wilayah dekat kediamananya. Memang, ukuran keberhasilan yang dilihat warga belum mengacu pada peningkatan prestasi belajar anak, namun pada berkurangnya anak-anak usia sekolah yang bertempat tinggal di wilayah uji coba keluyuran atau bermain di luar rumah pada malam hari. Warga RT 14/RW 01 Kelurahan Cijantung, Jakarta Timur, misalnya. Mereka baru menjadi peserta ‘Kampung Cerdas’ sejak dua bulan lalu, setelah melihat uji coba yang dilaksanakan wilayah tetangga berhasil. “Ini dilaksanakan atas usulan sebagian warga setelah melihat keberhasilan di RT tetangga. Lalu warga dikumpulkan untuk rapat sosialisasi. Memang waktu rapat
ada juga yang mempertanyakan program tersebut, namun mayoritas setuju,” tutur Dwi Warno yang baru beberapa bulan bermukim di wilayah tersebut. Waktu rapat sosialisasi, ada warga yang tidak lagi memiliki anak usia sekolah mempertanyakan peraturan tersebut karena dirasakan mengganggu kenyamanan mereka. Semua warga diminta tidak menyalakan televisi yang berada di ruang tamu atau ruang keluarga waktu jam belajar malam.Masalahnya, peraturan itu dipukul rata, keluarga punya anak usia sekolah ataupun tidak, diminta menyalakan televisi pada jam –jam itu. Bagi yang tidak memiliki anak usia sekolah, tidak boleh menyalakan televisi pada jam itu, dirasakan sebagai pelanggaran privasi. Nada keberatan bukan hanya datang dari mereka yang tidak memiliki anak usia sekolah tapi juga datang dari warga yang masih memiliki anak usia sekolah. Alasan mereka, jam belajar anak-anak mereka tidak pada malam hari melainkan pada sore hari. Ketika anak pulang sekolah, setelah beristirahat sejenak, anak dibiasakan untuk belajar. Sehingga pada pukul 19.00 adalah jam istirahat mereka. Mereka dapat bermain atau nonton televisi selama dua jam, sebelum tidur. “Lalu, pada saat anak saya istirahat dan akan nonton televisi, bagaimana? Anak saya sudah belajar, pukul 19.00 adalah jam bermain mereka sebelum tidur,” tutur seorang warga yang diamini oleh warga lainnya. Namun, setelah diberi penjelasan juga permintaan untuk semua berpartipasi agar program ini berhasil, akhirnya semua warga
setuju. Setidaknya, diujicobakan dalam beberapa bulan untuk melihat hasilnya, apakah berdampak positif pada perubahan prilaku anak. Ternyata, kata Dwi Warno lagi, program ini boleh dibilang cukup berhasil. Setidaknya, sejak program tersebut dijalankan, anak-anak yang bermain di luar rumah pada jam belajar, jauh berkurang. Mereka belajar di rumah. MELANGGAR, DENDA RP 2000 PER-ANAK Program ini bisa berjalan karena yang terlibat bukan hanya pihak orangtua yang ikut mengawasi putra-putrinya, juga pengurus RT/ RW dan aparat kelurahan terkait dengan pengawasan dan monitoring. “Pengawasan berjalan. Di awal-awal memang tidak mudah. Misalnya, warga yang menyalakan televisi pada jam belajar, didatangi dan ditegur agar mematikan televisinya. Atau, anak-anak yang terlihat di luar rumah ditegur. Semuanya tentu dengan persuasif. Pokoknya ketika sirine berbunyi pukul 19.00, anak-anak pun langsung masuk ke rumah masing-masing. Kini program sudah berjalan, para orangtua juga merasakan manfaatnya karena anak-anak berada di dalam rumah, belajar. Meski begitu, pengawasan tetap giat,” jelasnya. Contoh keberhasilan juga terlihat di Kampung Cerdas RW 05 Kelurahan Koja, Jakarta Utara. Malah, bagi sebagian warga rukun tetangga di wilayah rukun warga ini, program ini bukan hal baru. Mereka telah melaksanakan wajib belajar malam, jauh sebelum Gubernur Jokowi berbicara soal akan penerapan wajib belajar malam di Jakarta. Menurut Ketua RW 05, Asep Suprihatin,
mereka melaksanakan wajib belajar malam anak sejak tahun 2012. Waktu itu, hanya beberapa RT yang kebetulan dekat dengan balai warga. Karena program ini berdampak bagus, bukan saja membuat anak-anak tidak keluyuran pada malam hari namun prestasi belajar mereka meningkat, akhirnya sejumlah RT lain yang berada di lingkungan RW 05, pun mengikuti jejak pendahulunya. Di RW 05 Kelurahan Koja, peraturan ini bukan sekadar imbauan dan sosialisasi tapi sudah memberlakukan sanksi bagi pelanggarnya, yakni, denda Rp 2000 per-anak. Kesadaran masyarakat—apalagi sudah merasakan manfaatnya--ditambah adanya denda bagi yang melanggar, membuat program ini berjalan cukup efektif. “Pada jam wajib belajar malam, tidak boleh ada yang keluyuran. Tidak boleh menyalakan televisi di tempat belajar anak. Mereka yang keluyuran jika terbukti, didenda Rp 2000 peranak. Aturan soal denda ini sesuai kesepakatan warga dalam rapat,” kata Asep. Seorang warga mengaku, adanya program tersebut sangat membantu. Anak-anaknya yang biasanya masih menonton televisi pada pukul 19.00 sehingga lupa belajar, namun dengan adanya larang nonton televisi pada jam tersebut, membuat mereka belajar. Apalagi, anak-anak tetangga juga melakukan hal serupa. “Ketika sirine dan kentongan berbunyi, mereka pun masuk ke rumah. Pengurus RT/RW, karang taruna, berkeliling patroli,” kata Ahmad yang berharap program ini bisa terus berlanjut karena mendatangkan banyak manfaat. -Diana Runtu