Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021-5356272, 5357602 Fax: 021-53670771 www.suluhindonesia.com
Kamis, 22 Januari 2015
No. 15 tahun IX
Pengemban Pengamal Pancasila
133 Napi Segera Dieksekusi JAKARTA - Menkum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mengungkapkan hingga saat ini masih terdapat 133 terpidana mati yang menunggu dieksekusi. Mereka saat ini ditempatkan di beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia. ‘’Kami menyampaikan, jumlah terpidana mati di lapas kita saat ini ada 133 orang,” katanyasaat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, kemarin. Dari 133 terpidana mati itu, sebanyak 57 orang terkait kasus narkotika, dua terpidana mati kasus terorisme, dan 74 terpidana mati kasus pidana umum. Mengenai terpidana kasus narkotika, menurutnya pemerintah mendorong sistem peradilan yang mengarah pada memperbaiki perilaku pengguna narkoba. ‘’Perlu ada inovasi-inovasi untuk penyelesaian, ada
anggaran di BNN untuk program rehabilitasi. Kami harap kasus narkoba tidak di lapas, tetapi ikut program rehabilitasi saja,” kata Yasonna. Upaya rehabilitasi bagi pengguna narkoba, menurutnya sejalan dengan kondisi dan daya tampung lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang kurang memadai. Di sisi lain, kasus narkoba makin memprihantinkan. Di beberapa lapas di daerah, menurutnya jumlah tahanan yang tersangkut narkoba mencapai 60 persen. ‘’Lapas kita sudah over crowded, dari kapasitasnya. Di beberapa daerah bahkan lebih dari 60 persen diisi oleh terpidana narkoba,” katanya. Untuk diketahui, pemerintah berkomitmen menolak memberikan grasi atas napi yang tersangkut narkoba. (har)
Suluh Indonesia/ant
LAPOR KEJAGUNG - Rasman Arif Nasution sebagai tim kuasa hukum Komjen Pol. Budi Gunawan, memperlihatkan berkas ketika melaporkan pimpinan KPK ke Kejagung di Jakarta, kemarin.
Lapor Kejagung
Budi Gunawan Melawan Improvisasi Perppu
JAKARTA - Upaya perlawanan yang dilakukan Komjen Pol. Budi Gunawan kian menjadi-jadi. Setelah sebelumnya mendaftarkan gugatan praperadilan,melalui kuasa hukumnya melaporkan dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto ke Kejagung. ‘’Kami melaporkan pimpinan terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang atau pem-
biaran atau pemaksaan. Jadi pimpinan KPK sesuai Pasal 421 KUHP dan Pasal 23 UU.No 23 Tahun 1999 dan UU No.20 tahun 2001 terkait pemberantasan korupsi,” kata salah satu penasehat hukum Budi Gunawan, Razman Arif Nasution di Jakarta, kemarin. Laporan tersebut dilayangkan, karena KPK sengaja melakukan pembiaran dalam mengusut perkara kasus
korupsi Budi Gunawan, mengingat waktu kejadian perkara (tempus delicti) yang dituduhkan Budi terlalu lama. Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad membantah pihaknya menyalahgunakan wewenang dan menilai seluruh prosedur hukum telah dilakukan dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. ‘’Saya tidak menyalahgunakan wewenang. Semua telah sesuai
prosedur hukum dan SOP di KPK,dan tidak ada yang dilanggar,” tegasnya. Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua KPK Zulkarnaen. Namun Zul menanggapi dengan santai atas upaya perlawanan yang dilakukan Budi Gunawan,dan meminta semua pihak tidak memperuncing masalah. ‘’Kita harapkan kondusif, artinya semua pihak taat kepada ketentuan hukum, ter-
utama ini kan hukum pidana sangkaan tindak pidana korupsi kan ada hukum acaranya sama-sama dipahami secara baik nanti kan yang terlambat akan merugikan kita semua, termasuk menambah kerugian negara dengan biaya dan proses yang lebih lama, proses yang lama biaya lebih besar, masyarakat juga akan terganggu dengan hiruk pikuk kasusu ini,’’ katanya. (wnd)
Sangat Berbahaya JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf memperingatkan DPR untuk tidak berimprovisasi dalam merevisi Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang telah disetujui menjadi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. ‘’Kita perlu memperingatkan bahwa jangan sampai substansi dalam Perppu yang telah disepakati menjadi undang-undang itu berubah total. Sebab, kalau mereka (DPR dan Pemerintah) sudah mulai berimprovisasi akan menjadi bahaya,” kata Asep di Jakarta, kemarin. Dalam melakukan revisi, DPR juga perlu mewaspadai hal-hal fundamental yang dapat berpengaruh pada tahapan, program, dan jadwal pilkada. Perlunya pengawalan terhadap pembahasan revisi UU tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dan ketidaksesuaian pengaturan terhadap mekanisme tahapan pilkada. Oleh karena itu, lanjut
Asep, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri perlu menjembatani pertemuan khusus antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan pimpinan DPR guna membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Pilkada. ‘’KPU dalam hal ini hanya merumuskan masalah saja, jangan ikut memutuskan, jadi fungsinya memberikan masukan dan referensi terhadap revisi RUU tersebut. Dan itu harus cepat dilakukan karena 26 Februari nanti tahapan harus dimulai,” jelasnya. Sebelumnya, DPR menyetujui Perppu yang diterbitkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut disahkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi UU. Namun setelah UU Pilkada disahkan, masih perlu dilakukan perbaikan di sejumlah pasal. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan perlu dilakukan penyelarasan beberapa pasal yang dinilai masih tumpang tindih. (har)
Suluh Indonesia/ade
DEMO DUKUNG POLISI BERSIH - Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Refotmasi Polri berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, kemarin. Mereka menuntut agar Presiden Joko WIdodo mencabut pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai kapolri serta melibatkan KPK dan PPATK dalam proses pemilihan calon kapolri, sehingga dapat mencari calon kapolri yang berintegritas dan bersih dari korupsi.
Cegah Episode Cicak Vs Buaya
Saatnya Menunggu Ketegasan Jokowi PRESIDEN Joko Widodo diminta segera turun tangan menyelesaikan konflik perlawanan yang dilakukan Komjen Pol. Budi Gunawan, untuk menghindari episode lanjutan Cicak Vs Buaya.
Suluh Indonesia/ade
PENYERAHAN TUGAS KAPOLRI - Mantan Kapolri Jenderal Pol. Sutarman (kiri) dan Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti (kanan) saat penyerahan tugas wewenang dan Tanggung Jawab Kapolri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, kemarin.
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson F Yuntho di Jakarta, kemarin mengatakan, Jokowi harus turun tangan mengakhiri perlawanan balik bukan saja yang dilakukan BG (Budi Gunawan) tapi juga Polri secara insitusional. Perihal adanya pelaporan tersebut, Emerson menengarai pihak Korps Bhayangkara ingin melibatkan Korps Adyaksa dalam sengkarut kasus yang melibatkan jenderal bintang tiga di tubuh kepolisian tersebut. Oleh karena itu, ia meminta agar kejaksaan meneliti dengan seksama laporan
yang dilayangkan Budi Gunawan. ‘’Pelajari dan jangan gegabah,” pinta sarjana hukum jebolan UGM tersebut. Jika menerima begitu saja, kata dia, maka pihak Kejakgung bisa dituding ikut memperkeruh polemik kasus korupsi yang berawal dari rekening tambun Budi Gunawan saat menjabat sebagai Kabiro SDM Mabes Polri. ‘’Awas cicak buaya jilid II. Buaya gabung dengan banteng,”cetusnya. Seperti diketahui,upaya perlawanan hukum yang dilakukan Komjen Pol.Budi Gunawan usai ditetapkan tersangka oleh KPK kian menjadi-jadi.
Setelah sebelumnya mendaftarkan gugatan pra peradilan ke PN Jakarta Selatan, Budi Gunawan melalui kuasa hukumnya melaporkan dua pimpinan KPKAbraham Samad dan Bambang Widjoyanto ke Kejaksaan Agung. Dilaporkanya kedua pucuk pimpinan tersebut, karena KPK dinilai sengaja melakukan pembiaran dalam mengusut perkara korupsi Budi Gunawan, mengingat waktu kejadian perkara (tempus delicti) yang dituduhkan Budi terlalu lama. Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi mencurigakan saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri sejak 13 Januari 2014.
Padahal Budi merupakan calon tunggal Kapolri dari Presiden Jokowi dan sudah mendapatkan persetujuan dari DPR. KPK menyangkakan Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya. Bila terbukti, dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun. (wnd)