Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021-5356272, 5357602 Fax: 021-53670771 www.suluhindonesia.com
Kamis, 23 Februari 2017
No. 39 tahun XI
Pengemban Pengamal Pancasila
Kejagung Siapkan Rencana Eksekusi Napi JAKARTA - Kejaksaan Agung saat ini tengah meneliti kembali terpidana narkoba yang bakal dieksekusi mati Jilid IV meski terkendala putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memberikan batasan waktu pengajuan grasi. “Kita sedang teliti lagi, benar-benar diteliti dan tidak dipilah-pilah mana yang bisa dilakukan eksekusi,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, kemarin. Pasalnya, kata dia, mereka (terpidana mati) selalu mengulur waktu dengan menggunakan regulasi yang ada. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan pelaksaan eksekusi mati Jilid IV terhambat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur batasan waktu pengajuan grasi oleh terpidana mati. ”Justru di situlah kami sekarang menghadapi regulasi
baru, ada dinamika perkembangan regulasi karena adanya putusan MK,” kata Prasetyo. Dalam putusan MK itu, kata dia, antara lain menyebutkan yang namanya grasi semua diatur hanya diajukan satu kali dan batasan waktunya setahun setelah perkara memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah). ”Ternyata, sekarang diatur tidak ada batasan waktu. Sementara itu, kalian (wartawan) tahu sendiri bagaimana usaha para terpidana mati itu berusaha mengulur waktu,” tegasnya. Sebelumnya, Kejagung telagh mengeksekusi sejumlah narapidana khususnya yang terlibat narkotika. Meski belum dipastikan tanggal nerapa rencana eksekusi ini, Jaksa AGung memastikan dalam bulan-bulan ini pelaksanaan eksekusi akan dilakukan. (ant)
BNN Musnahkan 11 Kg Shabu JAKARTA - Badan Narkotika Nasional (BNN) memusnahkan 11 kilogram shabu, 168,5 gram kokain dan 49.000 ml cairan “4-klorometkatinona” (4-CMC) atau “Blue Safir”. “Ini (pemusnahan) pertama kali pada 2017,” kata Kepala BNN Budi Waseso melalui keterangan tertulis di Jakarta Rabu. Budi menuturkan barang bukti narkotika itu merupakan pengungkapan BNN atas empat kasus kejahatan dengan jumlah tersangka mencapai 16 orang pada Desember 2016-Januari 2017. Sebelum pemusnahan, petugas BNN menyisihkan 12 gram shabu dan 98 mililiter 4-CMC untuk keperluan pemeriksaan laboratorium. Terkait barang bukti itu, Budi menyebutkan BNN mengungkapkan kasus kir-
iman paket berisi 170,5 gram kokain yang dikemas pada spidol di Jalan Simo Gunung Barat Tol II Suko Manunggal Surabaya Jawa Timur, 14 Desember 2016. Petugas menangkap tersangka EW dan pengendali seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar Bali, VAP. Kasus kedua pengungkapan 8.097 gram shabu dengan tersangka JAM, YAN dan AL alias AS di depan Masjid Raya Jalan Sisingamangaraja Medan Sumatera Utara pada 12 Januari 2017. Dari keterangan ketiga orang itu, petugas meringkus tersangka SY (22), DAV (36) dan PREM (37) pada salah satu hotel di kawasan Medan Sumatera Utara. Kasus tersebut diduga terkait empat orang warga binaan. (ant)
Suluh Indonesia/ant
PEMERIKSAAN PERDANA - Petugas menggiring mantan Hakim MK Patrialis Akbar saat akan menjalani pemeriksaan perdana di gedung Merah Putih KPK Jakarta, kemarin.
Mendagri :
Saya Tidak Membela Ahok
Suluh Indonesia/ant
RAKER POLRI - Kapolri Jenderal Pol.Tito Karnavian dan anggota Komisi III DPR Herman Hery berjalan memasuki ruang rapat untuk mengikuti raker dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. Raker tersebut membahas tugas dan fungsi Polri.
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan kebijakannya mengaktifkan kembali Basuki T. Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta bukan dalam kapasitas membela yang bersangkutan namun menjalankan perintah konstitusi. “Saya tidak membela Ahok namun membela Presiden dan saya bertanggung jawab sehingga kalau pun salah siap diberhentikan. Saya membela Presiden dan kebetulan kasus ini menyangkut Ahok,” kata Tjahjo dalam Rapat Kerja Komisi II DPR Jakarta, kemarin. Dia menjelaskan kalau status hukum bupati/wali kota ada diskresi Mendagri
namun terkait gubernur ada Keputusan Presiden. Tjahjo mengatakan dirinya harus adil karena ada kasus gubernur yang menjadi terdakwa namun dituntut Jaksa di bawah lima tahun yaitu delapan bulan sehingga bisa mencalonkan kembali. “Lalu ada seorang bupati tertangkap tangan kasus narkoba, diskresi saya untuk diberhentikan,” ujarnya. Dia menjelaskan dalam kasus Ahok tersebut, dakwaan yang diajukan Jaksa adalah alternatif, ada yang ancaman hukumannya empat tahun dan lima tahun. Menurut dia, kalau dirinya memberhentikan Ahok namun dalam proses pengadilannya,
Jaksa menuntut empat tahun maka dirinya yang salah. “Kami bawa ke MA lalu dibalas tanggal 16 Februari, dalam pertemuan kami diskusi, bapak harus balas karena intrepretasinya beda. Walapun semua benar, saya juga mempertanggungjawabkan ke presiden, sudah benar ini,” katanya. Tjahjo mengatakan dirinya konstiten dengan keputusannya untuk menunggu tahapan di pengadilan. Dia menegaskan dirinya sebagai pembantu Presiden tidak mungkin menjerumuskan Presiden dengan keputusan yang salah. Anggota Komisi II DPR Yandri Susanto dalam Raker tersebut menyesalkan sikap Mendagri beberapa waktu lalu
siap mundur kalau ternyata salah dalam mengambil kebijakan pengaktifan kembali Ahok. Menurut dia sikap Mendagri itu terkesan “pasang badan” untuk Ahok sehingga pernyataan itu seharusnya tidak dilontarkan. “Saya ingin tahu bagaimana menurut Mendagri ketika seorang terdakwa mengambil kebijakan di pemerintahan, legitimasinya di mana,” kata Yandri. Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali menilai tepat keputusan MA yang menolak untuk memberikan pendapat terhadap status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama seperti permintaan Mendagri Tjahjo Kumolo. (ant)
Presiden Nilai
Proses Demokrasi Sudah Berjalan Kebablasan PRESIDEN Joko Widodo menilai proses demokrasi yang berjalan saat ini sudah kebablasan. Akibatnya, praktik demokrasi yang dijalankan telah membuka peluang artikulasi politik yang bertentangan dengan Pancasila. Penegasan tersebut disampaikan Kepala Negara yang mengaku selama 4-5 bulan terakhir banyak pihak yang bertanya kepadanya mengenai sistem demokrasi di Indonesia. “Banyak yang bertanya pada saya, apa demokrasi kita keablasan? Saya jawab iya, demokrasi kita sudah terlalu kebablasan,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pada pelantikan pengurus
baru DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di bawah Ketua umum Oesman Sapta Odang di Sentul, Bogor, kemarin. Pelantikan pengurus Partai Hanura dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua umum Partai Golkar Setya Novanto, Ketua umum PKPI AM Hendropriyono dan ketum par-
pol lainnya termasuk perwakilan dari Partai Gerindra yang diwakili Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria. Selain itu juga dihadiri oleh 25 ribu kader Partai Hanura dari seluruh Indonesia. Jokowi menjelaskan akibat dari demokrasi yang kebablasan itu melahirkan artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sekterianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. “Penyimpangan praktik demokrasi itu mengambil bentuk nyata seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, politisasi SARA. Ini harus kita ingatkan, kita hindari. Seperti yang tadi disampaikan Pak OSO (Oesman Sapta Odang), tentang menyebarnya kebencian, fitnah, kabar bohong, saling memaki, saling menghujat, yang ini kalau diteruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita,” ingat Jokowi. Penyelesaian dari demokrasi yang kebablasan ini, saran Jokowi adalah penegakan hukum. “Kuncinya dalam demokrasi yang sudah kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat harus tegas, tidak usah ragu-ragu. Jangan sampai kita lupa terus menerus dalam hal seperti 4-5 bulan ini, sehingga kita lupa pada persoalan ekonomi kita,” katanmya. Presiden mengatakan perlu menyampaikan persoalan ini agar semua pihak dapat memahami konsep dan nilainilai kebangsaan yang semua rakyat harus tahu betul kebhinekaaan. (har)
Suluh Indonesia/ant
TUNTUT PSU - Wakil Sekretaris PDIP pusat Achmad Basarah (ketiga kanan) didampingi pimpinan partai pendukung menunjukan bukti kecurangan dalam Pilkada Banten di Tangerang, kemarin. Dalam keterangannya tim kemenangan Rano - Embay menuntut pihak penyelenggara pilkada untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) karena adanya indikasi kecurangan di 18 TPS kota Tangerang.
DPR Sebut
Polri Kriminalisasi Ulama JAKARTA - Komisi III DPR menggelar rapat kerja dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di ruang Komisi III DPR, Jakarta, kemarin. Rapat ini membahas sejumlah persoalan hukum yang sedang ditangani oleh polisi antara lain pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Merah Putih oleh Polri yang dinilai meyalahi aturan, juga kasus-kasus hukum yang menjerat sejumlah ulama yang dianggap upaya kriminalisasi terhadap ulama. Jenderal Tito Karnavian
menjelaskan polisi masih terus menindaklanjuti beberapa kasus yang melibatkan ulama. Seperti kasus yang menjerat Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab?. Polisi menjerat Rizieq dengan beberapa kasus, yaitu dugaan penghinaan terhadap Pancasila, dugaan tuduhan lambang Palu Arit dalam uang yang dikeluarkan BI, dan dugaan kasus pornografi dengan Firza Husain. “Untuk kasus dugaan penghinaan lambang negara Pancasila, polisi sudah memeriksa 25 saksi, yang ke-
mudian dilakukan pendalaman dengan keterangan saksi ahli,” kata Kapolri. Untuk kasus dugaan pornografi dengan Firza Husain, selain memanggil saksi IT, polisi juga sudah menyita beberapa barang bukti untuk dianalisa. “Kemudian kasus ceramah saudara Rizieq tentang pangkat jenderal otak hansip. Kasus ini dilaporkan oleh sejumlah hansip yang merasa tersinggung,” beber Kapolri. Selain kasus Rizieq, Kapolri juga menjelaskan mengenai kasus dugaan penggelapan
uang yayasan yang diduga dilakukan oleh ustad Bachtiar Nasir untuk kegiatan demo dalam Aksi Bela Islam. Dalam kasus tersebut, Kapolri menegaskan penggunaan uang yayasan oleh Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) ini melanggar ketentuan perundangan. Kapolri menegaskan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan ustad Bachtiar Nasir akibat adanya laporan masyarakat. (har)