Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021-5356272, 5357602 Fax: 021-53670771 www.suluhindonesia.com
Senin, 22 Oktober 2012
No. 199 tahun VI
Pengemban Pengamal Pancasila
Tak Ada Intervensi Audit BPK JAKARTA - Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng menegaskan tak ada intervensi dalam audit proyek Hambalang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu diungkapkan Andi Mallarangeng seusai mendampingi DPP KNPI diterima Presiden Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin. “Kalau itu tidak ada intervensi. Dari saya tidak ada niatan intervensi, dan saya tetap berharap BPK bisa menjalankan tugasnya secara profesional dan adil,” kata Andi Andi menegaskan, dirinya patuh terhadap hukum dan mengharapkan agar hal ini dilakukan seusai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Biarlah semua sesuai prosedur hukum, agar kita semua tahu bagaimana duduk persoalannya dan bagaimana kejelasan dan sebagainya,” katanya. Sebelumnya, ramai diberitakan Anggota BPK Taufiqurrahman Ruki mempertanyakan laporan awal audit investigasi BPK terhadap proyek Hambalang. Di antaranya, hilangnya nama Menteri Pemuda dan Olahraga serta
perusahaan-perusahaan yang sebelumnya terlibat dalam proyek Hambalang tersebut. Proyek Hambalang dimulai sejak 2003 saat masih berada di Direktorat Jenderal Olahraga Depdikbud dengan tujuan menambah fasilitas latihan olahraga selain Ragunan. Pada periode 2004-2009, proyek tersebut dipindah ke Kemenpora dengan pengurusan sertifikat tanah Hambalang, studi geologi serta pembuatan masterplan. Pada 2009, anggaran pembangunan diusulkan menjadi sebesar Rp1,25 triliun sedangkan pada 2010 kembali diminta penambahan kebutuhan anggaran menjadi Rp1,175 triliun melalui surat kontrak tahun jamak dari Kemenkeu. Dari kebutuhan anggaran sebesar Rp1,175 triliun, hanya Rp275 miliar yang mendapat pengesahan. Jumlah itu berasal dari APBN 2010 sebesar Rp125 miliar dan tambahan Rp150 miliar melalui APBN-P 2010. Anggaran tersebut bahkan bertambah menjadi Rp2,5 triliun karena ada pengadaan barang dan jasa. (ant)
SBY-Boediono Dinilai
Kehilangan Militansi Penegakan Hukum JAKARTA - Pemerintahan yang dipimpin oleh SBY-Boediono sekarang telah kehilangan militansi dalam agenda penegakan hukum. Indikatornya, menurut Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengacu pada obral grasi dan remisi yang akhirakhir ini diberikan Presiden terhadap para terpidana kasus narkoba. Selain kasus tersebut, hilangnya militansi pada penegakan hukum juga
dapat dilihat dari lambannya proses penanganan sejumlah kasus hukum besar yang menjadi perhatian publik. “Utamanya kasus Bank Century dan mafia pajak,”ujar Bambang dalam acara peluncuran buku dengan judul “Republik Galau” di Kantor YLBHI, Jakarta, kemarin. Atas ketidakmilitansian tersebut, ia menilai tak mengherankan jika pemerintah pun tampak minimalis pula menyi-
kapi berbagai upaya pelemahan yang dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara bertubi-tubi. ‘’Saya khawatir, sikap minimalis itu disebabkan oleh tersanderanya pemerintah saat ini. Karena bukan rahasia lagi ada pejabat tinggi negara saat ini yang diduga terlibat kasus Bank Century,” paparnya. Selain meragukan militansi penegakan hukum yang di-
lakukan pemerintah, politikus dari Partai Golkar tersebut juga mengkritisi berbagai kasus penegakan hukum lainnya seperti konflik agraria yang bermuara pada bentrok berdarah antara warga sekitar dengan para pemilik kebun. Hal ini terlihat pada kasus bentrokan berdarah di Mesuji beberapa waktu yang lalu. Dalam sejumlah kasus konflik agraria itu, ia menilai bentrok berdarah kerap ter-
jadi karena rakyat merasa alar-alat negara tak independen dan cenderung berpihak pada kaum pemodal besar. Negara menurutnya, tak tampil menengahi sengketa tanah yang berujung pada bentrok berdarah yang sulit untuk dihindari. ”Jika rakyat sudah mempertanyakan peran dan kehadiran negara, tentu kinerja pemerintah pun patut diragukan,” tandas Bambang. (wnd)
Popularitas Ical
Belum Memuaskan JAKARTA - Berdasarkan survei Political Weather Station (PWS), upaya meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon presiden (capres) dari Partai Golkar Aburizal Bakrie hingga kini belum mencapai hasil yang memuaskan. Direktur Riset PWS Marseden Marbun saat memaparkan hasil survei di Jakarta, kemarin menyebutkan, popularitas Aburizal masih tetap di bawah Jusuf Kalla. Bahkan tokoh muda Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, merangkak naik mendekati seniornya. “Berdasar survei yang dilakukan PWS terhadap tokoh-tokoh di Partai Golkar, elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jusuf Kalla masih menempati posisi teratas dengan 22,14 persen. Aburizal menempati urutan kedua dengan 16,35 persen,” kata Marseden. Yang cukup mengagetkan adalah mencuatnya Priyo Budi Santoso ke posisi ketiga (12,24 persen). Priyo mengungguli seniornya di Partai Golkar seperti Akbar Tandjung (11,21 persen), Fadel Muhammad (9,81 persen), Agung Laksono (4,48 persen), Hajriyanto Tohari (0,46 persen), Sharif Cicip (0,09 persen). Adapun responden yang menjawab rahasia (4,39 persen) dan undecided (18,83 persen). Survei yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia ini dilaksanakan pada 7 September hingga 7 Oktober 2012. Jumlah sample 1.070 responden, yang diperoleh melalui teknik pencuplikan secara berjenjang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan pedoman kuesioner. Belum mampunya politikus yang biasa dipanggil Ical ini menaikkan elektabiltasnya disebabkan karena sejumlah isu yang terkait dengannya. Di antaranya, persoalan lumpur Lapindo, isu perusahaan Bakrie Group yang dikaitkan dengan persoalan pajak, konflik internal Partai Golkar, maupun sentimen Jawa dan non Jawa. Tingkat kesukaan responden terhadap Ical hanya 45,6 persen. Posisinya di bawah JK yang mencapai 70 persen dan Priyo (49,25 persen). Sementara tingkat kesukaan terhadap Akbar Tandjung (40,84 persen), Fadel Muhammad (35 persen), Agung Laksono (32,89 persen), Hajriyanto (23,64 persen) dan Syarif Cicip (19,71 persen). Hal ini terlihat dari hasil monitoring terhadap pemberitaan di 12 surat kabar nasional, 7 media online, dan 6 televisi. “Pengumpulan data dilakukan 7 Oktober 2011 hingga 7 Oktober 2012,” kata Marbun. Hasil monitoring atas pemberitaan media tersebut terhadap Ical, hanya 45 persen yang positif. Sedang negatifnya (22 persen), netral (27 persen) dan positif-negatif (6 persen). Padahal pemberitaan positif Jusuf Kalla mencapai 73 persen, negative (5 persen), netral (16 persen) dan positif-negatif (6 persen). Menjelang Rakornas Partai Golkar, yang akan dilakukan 28 Oktober 2012, menurut dia, sebaiknya Golkar dan Ical segera mencari format yang tepat untuik menggaet pemilihnya. Pilihan strategis Ical lewat serangan udara. “Karena Ical memiliki televisi,” kata Marbun. (ant)
Suluh Indonesia/ant
TOLAK GRASI NARKOBA - Sejumlah mahasiswa melakukan aksi teatrikal “Tolak Grasi Narkoba” di Solo, Jateng, kemarin. Dalam aksinya mereka mengecam pembebasan gembong narkoba, karena dianggap bertentangan dengan semangat anti narkoba yang selama ini didengung-dengungkan.
Mekanisme Penyerahan Kasus Simulator SIM
Harus Mengacu UU KPK
JAKARTA - Meskipun hampir dua pekan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM kendaraan roda dua dan empat di Korlantas Polri diserahkan kepada pihak KPK, namun kenyataanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum juga menemukan kata sepakat dalam hal teknis penyerahan kasus dugaan korupsi yang menyeret nama dua jenderal di lingkungan korps bhayangkara. Ketidaksepakatan tersebut terjadi lantaran kedua lembaga penegak hukum ini berbeda pendapat dalam menentukan dasar hukumnya. KPK berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 50 ayat 3 dan 4, sementara pihak Polri mengacu pada Pasal 109 tentang KUHAP. Menanggapi silang pendapat hukum yang dikemukan kedua belah pihak dalam menyelesaikan
kasus tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengemukakan, sebenarnya dasar hukum yang tepat untuk memformulasikan penyerahan kasus ini ialah menggunakan UU No. 50 Tentang KPK, tidak Pasal 109 KUHAP tentang mekanisme penghentian penyidikan seperti yang dijadikan dasar hukum oleh Polri. ‘’Sebenarnya Pasal 50 tentang UU KPK sudah sejak awal saya beritahu, jadi polemik itu ditujukan bukan siapa lebih dulu memulai, tapi KPK bisa ambil alih berdasarkan Pasal 50. Sekarang sebenarnya sudah dapat diatasi persoalannya. Karena ini hanya semacam sengketa kewenangan yang bisa diseelesaikan secara internal,” kata Yusril di Jakarta kemarin. Meskipun pihak kepolisian berpendapat mekanisme teknis penyerahan kasus ini tak mudah dilakukan mengingat ada beberapa tersangka yang ditetapkan pihak polri telah dilakukan pena-
hanan, namun mantan Menteri Hukum dan HAM tersebut meyakini hal itu dapat terselesaikan karena semuanya sudah diatur dengan jelas dalam sistem perundangan-undangan yang dianut oleh Indonesia. ‘’Sesuai KUHAP masa tahanan tidak hilang, pokoknya sekarang semua berkas penyidikan beserta tersangkanya tinggal diserahkan semua ke KPK,” jelasnya. Terkait polemik kasus ini, menurut Yusril, sebenarnya pihaknya sudah memberikan tiga solusi sebelum akhirnya Presiden SBY angkat bicara. Namun kini ia tak bisa mencampuri lagi karena mekanisme penyerahan sudah ditengahi Presiden sebagai kepala negara. ”Saya berpendapat, sebenarnya pada waktu polisi meminta pendapat saya, ada 3 alternatif yang saya berikan. Pertama dikembalikan ke ketentuan UU, dibaca UU KPK itu. Kedua, serahkan ke MK, ketiga presiden menengahi,” katanya.
Menurut KPK dasar hukum yang tepat ialah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 50 ayat 3 dan 4.Sementara pihak Polri mengacu pada Pasal 109 KUHAP. Pada Undang-Undang tersebut disebutkan, dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Sementara dalam ayat 4 bahkan dijelaskan jika penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Sementara itu dalam Pasal 109 KUHAP yang dimaksud Polri adalah melalui penghentian penyidikan. Dalam pasal tersebut disebutkan, dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya. Terkait masih belum disepakatinya penyerahan kasus ini oleh Polri, sebelumnya pada Jumat(19/10) lalu, juru bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, sebenarnya tak ada yang dilanggar Polri dalam rangka pelimpahan kasus dengan menggunakan Pasal 50 ayat 3 dan 4. Dengan menggunakan formulasi hukum tersebut, otomatis pihak kepolisian bisa melakukan penghentikan penyidikan tanpa harus mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Sementara masalah penahanan yang sudah dijalankan tersangka tetap akan diperhitungkan. ”Tidak ada yang dilanggar Polri jika mengacu UU dalam rangka pelimpahan kasus dengan menggunakan Pasal 50 ayat 3 dan 4,” tandasnya. (wnd)